Membedah Praktik-Praktik Korupsi di Sekolah
Tindakan korupsi yang terjadi di sekolah kian marak terjadi. Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sektor pendidikan menempati posisi ke-tiga yang paling banyak melakukan tindakan korupsi (2021) dengan jumlah 44 kasus. Ironisnya, sebagian kasus korupsi tersebut terjadi di sekolah, serta melibatkan guru dan kepala sekolah.
Kenyataan tersebut menjadi latar belakang bagi Visi Integritas dalam menyelenggarakan webinar bertajuk “Memahami dan Mencegah Korupsi di Sekolah” pada Sabtu (16/7/2022). Dalam webinar ini, tampil sebagai narasumber Chatarina Maulina Girsang, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek); Almas Sjafrina, Peneliti ICW; Ade Irawan, Aktivis Antikorupsi, Direktur Utama Visi Integritas.
Bertindak sebagai narasumber pertama, Chatarina Maulina Girsang menyatakan bahwa pencegahan dan penanganan korupsi di sekolah menjadi komitmen dan prioritas Kemdikbud Ristek. Pasalnya, hal itu berdampak pada alokasi anggaran yang stagnan untuk sektor pendidikan. “Korupsi juga mempersulit kita untuk mencapai sasaran program yang direncanakan,” tambah Chatarina.
Chatarina melanjutkan, berbagai kebijakan telah diterbitkan oleh Kemdikbud Ristek untuk meminimalisir tindakan korupsi di sekolah. Pertama, memperketat pelaporan penggunaan dana BOS. Kedua, membuat mekanisme sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) daring. Ketiga, program Sekolah Aman Berbelanja Bersama SIPlah. Ia menjelaskan, “Hal itu menjadi prioritas, karena menjadi isu utama terjadinya korupsi di sekolah.” Persoalan korupsi di sektor pendidikan, bagi Catharina, tidak mungkin dituntaskan oleh pihak kementerian saja. Komitmen dari penerima layanan, seperti peserta didik dan wali murid menjadi bagian penting dalam mencegah korupsi di sekolah. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan tidak memberikan gratifikasi kepada pihak sekolah, karena mampu mendorong tindakan korupsi.
Menyadari bahwa pendidikan merupakan fasilitas publik, Kemdikbud Ristek telah memiliki program untuk menciptakan pelayanan yang berintegritas dan bersih dari korupsi. “Hal ini juga berkelindan dengan upaya memberikan pendidikan yang bermutu,” tegas Catharina.
Senada dengan Catharina, Almas Sjafrina turut menekankan pentingnya membahas permasalahan korupsi di sekolah. Selain merugikan negara, korupsi di sekolah juga memiliki dampak berkepanjangan. Almas menjelaskan, kehadiran aktor yang korup di sekolah berpotensi ditiru oleh peserta didik sehingga menciptakan generasi-generasi yang koruptif.
Keprihatinan Almas didasari oleh kenyataan bahwa sekolah menyumbang 31% dari seluruh kasus korupsi di sektor pendidikan. Mirisnya, tindakan korupsi tersebut sebagian besar dilakukan oleh kepala sekolah. Almas menjelaskan bahwa modus yang umum dilakukan berupa proyek fiktif dan laporan fiktif. ”Atau pungutan liar berkedok penerimaan siswa baru, sertifikasi guru, dan lain-lain,” tambah Almas.
Peluang besar terjadinya korupsi di sekolah, bagi Almas, disebabkan oleh ketiadaan mekanisme transparansi kepada warga sekolah. Akhirnya, sistem pengawasan dalam mengelola anggaranpun menjadi minim. Oleh karena itu, reformasi birokrasi menjadi keharusan demi menghapus tindakan korupsi. Korupsi di sekolah menjadi salah satu hambatan bagi warga negara untuk mendapat hak dasar untuk mengenyam pendidikan. Hal tersebut diungkapkan oleh Ade Irawan, Direktur Eksekutif Visi Integritas. Ia pun mengamini perkataan Almas, bahwa korupsi di sektor pendidikan tidak hanya merugikan negara secara materiil, tetapi memiliki dampak terkait reproduksi nilai-nilai korupsi.
Menurut Ade Irawan sekolah bukanlah sumber utama dari segala tindakan korupsi yang terjadi, melainkan politiklah yang memiliki andil besar. Sekolah, jelas Ade, selalu menjadi ruang perebutan para aktor politik untuk memenangkan kepentingan mereka. “Buktinya, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pernah menangkap kepala daerah yang mengobral jabatan kepala sekolah,” tambah Ade.
Terdapat beberapa hal yang musti dilakukan untuk membenahi masalah korupsi di sekolah.
Pertama, menghentikan korupsi politik dan kegiatan yang berupaya mempolitisasi sekolah. Ade melanjutkan, jika hal ini terus berlanjut, maka sekolah akan terus menjadi objek korupsi.
Kedua, pembenahan birokrasi. Sebab, Ade Irawan menganggap bahwa akuntabilitas pengelolaan anggaran sekolah seharusnya diberikan kepada warga sekolah. Ia mengatakan, “saat ini yang terjadi adalah kepala sekolah memberikan pelaporan hanya ke kepala dinas.”
Ketiga, Ade menekankan pentingnya desakralisasi kepala sekolah. Karena, ia menemukan banyak kepala sekolah yang bertindak sebagai bos dan enggan untuk mengajar.
Keempat, demi terciptanya sekolah yang nihil tindakan korupsi, perlu optimalisasi peran komite sekolah dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Terakhir, perlu adanya sistem pengendalian korupsi, termasuk mekanisme pengaduan.
link sumber
https://visiintegritas.com/membedah-praktik-praktik-korupsi-di-sekolah/